Sampingkan kuantitas,Fokuskan kualitas !
Status Quo : Ledakkan pertumbuhan penduduk menjadi
salah satu PR Pemerintah yang belum teratasi. Akibatnya adalah 1.) Tidak
meratanya kesejahteraan rakyat, 2.) Kuantitas penduduk berpendidikan rendah
(melek huruf, buta warna, dll) yang tiap tahunnya meningkat, 3.) Pengangguran
yang terus bertambah dengan ketersededian lapangan kerja yang terbatas dan 4.)
Angka kriminalitas yang tinggi. Kalau sudah begini, siapa yang akan disalahkan?
Pemerintah? Padahal membangun Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Pada pembahasan
kali ini saya mengambil parameter atau
ruang lingkup anak Indonesia (Balita, Anak-anak dan Remaja). Dimana pertumbuhan
anak sekarang menjadi tolak ukur bagaimana Indonesia beberapa tahun kedepan.
Anak Indonesia?
Tentu saja kami — saya dan teman-teman
segenerasi saya termasuk ke dalam hitungan sebagai penduduk Indonesia.
Memang benar ledakkan penduduk Indonesia sedang digempar-gemporkan beberapa
tahun ini. Saya, yang bernotabene siswi kelas 12 SMA, heran akan kondisi ini. Lalu, mengapa jika banyak anak? Toh itu karunia Tuhan YME.Lalu, jika
sedikit penduduk dapat menjamin Indonesia menjadi Negara maju? Belum tentu.
Kuantitas bukanlah masalah, kualitas lah masalah utama bangsa Indonesia.
Jika
dibandingkan dengan Negara Singapura, Negara kecil namun tergolong ke dalam
Negara maju, sudah waktunya Indonesia untuk berbenah. Berbenah disini bukan
dalam artian mengurangi jumlah penduduk dengan membatasi angka kelahiran, dapat
kita berkaca pada salah satu program Pemerintah yaitu KB (Keluarga Berencana) tidak
lah membawa suatu perubahan yang signifikan.
Dilihat dari asas kebebasan dan hak untuk mengeluarkan pendapat yang dianut
oleh Indonesia sebagaimana menjadi Negara Demokrasi ikut andil sebagai
penghambat program KB berjalan. Asas “kebebasan” sudah tertanam di jiwa seluruh
rakyat Indonesia yang pada ujungnya menjadi salah kaprah. Pemerintah tidak
dapat mengatur rakyatnya secara intensif karena semua kedaulatan berada di
tangan rakyat. Dilain sisi, asas “hak untuk mengeluarkan pendapat” tak kalah menyimpangnya
dengan asas sebelumnya. Rakyat selalu mengeluarkan suaranya menuntut perubahan
dan menghakimi setiap kebijakan Pemerintah. Kini rakyat terlihat seperti anak
bungsu yang selalu ingin dituruti kemauannya. Berbenah dalam artian disini
adalah menggali potensi yang ada.
- Education for All. Tentu pendidikan menjadi pondasi penyelesaian suatu masalah. Kini Indonesia mempunyai banyak penduduk, sudah waktunya kita “mengolah’’ penduduk ini menjadi SDM yang berkualitas, secara merata tentunya. Program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh Pemerintah sejak tahun 2006 sudah berjalan dengan baik di beberapa wilayah di Indonesia. Tentu akan lebih baik jika tersebar merata di seluruh Indonesia, agar seluruh generasi muda dapat mencicip bangku pendidikan formal sebagai jendela keberhasilan di masa depan. Kembali lagi, akan sia-sia jika memiliki penerus bangsa yang melimpah ruah tapi tidak menjanjikan apa-apa di masa depan bukan ? Dilain sisi, kita tidak boleh memfokuskan pada pendidikan formal saja, namun diiringi dengan perbekalan mental yang kuat. Indonesia tidak hanya membutuhkan gelar sarjana. Kini semua sarjana mengincar pekerjaan kantoran dengan pekerjaan yang mudah tetapi mendapat gaji yang besar. Namun, peluangnya sangat kecil dengan peminat yang membeludak. Banyak sarjana yang gengsi mendapat jabatan yang rendah dan memilih untuk pengangguran. Nah, inilah yang menjadi alasan mengapa mental anak Indonesia harus ditempa. Menjadi seperti apa ? Coba kita analogikan seperti ini: Jika satu sarjana mampu menciptakan satu lapangan kerja, maka mereka dapat memberi kesempatan kerja bagi mereka yang tidak mempunyai kesempatan bersekolah di Perguruan tinggi. Disini dapat kita lihat terjadinya simbiosis mutualisme, Pemerintah tetap bekerja dengan program Pendidikan, sedangkan anak Indonesia bekerja untuk membangun Negara sebagai bentuk penerapan teori yang telah diberikan saat dijenjang pendidikan.
- Penyuluhan ke daerah pelosok Indonesia. Seperti yang kita ketahui, masih banyak penduduk Indonesia yang primitive, kolot dan terpaku pada adat istiadat yang berlaku di sukunya. Kita ambil satu contoh, banyak dari penduduk tersebut menganut “banyak anak, banyak rezeki” yang tentunya tidak dapat diterapkan untuk semua kalangan. Misalnya, dengan pengasilan di bawah rata-rata berkecukupan, kita tidak dapat memenuhi kebutuhan anak yang berujung sang anak tidak dapat menghasilkan sesuatu yang lebih kelak saat dewasa, seperti kecukupan pangan, sandang, pendidikan dan kebutuhan lainnya. Nah, dimana letak rezekinya, pak, bu? Kenyataannya banyak sekarang terjadi eksploitasi anak demi mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Maka dari itu, kita perlu mengadakan sosialisasi ke penduduk-penduduk yang membutuhkan, terutama penduduk dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesenjangan sosial dan terwujudnya kesejahteraan yang merata.
Jikalau
2 hal diatas dapat dijalani dengan baik, maka akan memperbaiki masalah-masalah
di Indonesia, seperti :
- Kualitas SDM yang rendah. Pendidikan yang terjamin dapat pula menjamin meningkatnya kualitas SDM di Indonesia
- Kesejahteraan rakyat. Dari SDM yang baik dapat meningkat ekonomi yang baik pula. Dengan ekonomi yang baik dapat mewujudkan kesejahteraan secara merata
- Kuantitas penduduk yang selalu meningkat tidak menjadi suatu masalah serius karena penduduk sudah mapan dan mampu menghidupi dirinya secara layak
- Kriminalitas. Karena kehidupan yang sudah matang maka kasus pencurian, pembunuhan akan ikut berkurang
Dapat diambil
kesimpulan bahwa kuantitas penduduk yang selalu meningkat bukan masalah dari Indonesia
menjadi Negara berkembang, namun kualitas penduduk yang menjadi masalah
utamanya. Dengan demikian, selain memecahkan masalah dari rendahnya tingkat
kesejahteraan rakyat, solusi ini dapat pula mendukung Indonesia menjadi Negara maju
dengan cirri-ciri yaitu, kualitas SDM yang tinggi, Kesejahteraan rakyat yang
merata, SDA digunakan secara maksimal dan dapat memecahkan masalah
kependudukan.
Membangun
Indonesia dengan keanekaragamannya bukanlah hal yang mudah. Mari kita berkaca
untuk saling menuntut dan menyalahkan. Kini dengan keanekaragaman yang kita
punya, satukan langkah kita untuk membangun Negara, jangan hanya menopang pada
pemerintah, gerakkan hati nurani kita, mulai dari membangun diri sendiri. Ayo, Indonesia Bisa!
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog BkkbN 2013 [Kategori Remaja] [sumber]
Komentar
Posting Komentar