NGABUBUTALK #2: How Will I Raise My Kid? Feat. Mba Za


Yay, FINALLY CHAPTER 2 IS OUT!

Kalau boleh jujur, sebenarnya topik ini lebih dulu diobrolin saat Ramadan. Namun, karena topiknya cukup serius, perlu disunting beberapa kali sampai layak naik di blog. Teman virtual kali ini adalah Mba Za, orang yang sering memberi ucapan buka puasa dengan cara yang unik, contohnya:





I am feeling like i am special. Ngga tau lagi ya kalau semua orang emang dapet, yang aku tau aku dapet ucapan berbuka puasa sesuai makanan dan minuman yang aku pengen.
Terima kasih teman virtual!

Kali ini pembahasannya untuk menjawab kekhawatiran gadis-gadis di umur yang katanya sudah siap menikah tapi sangat ingin tahu bagaimana menjadi orang tua yang baik nantinya. Kayaknya kalau jadi jodoh yang baik aja ngga cukup deh, perlu tau juga gimana jadi orang tua yang baik sebagai calon ibu. Asik.

Kekhawatiran ini dimulai dari kasus-kasus anak di bawah 18 tahun yang melibatkan pihak berwenang untuk menyelesaikan masalahnya. Seingetku dulu, dosa terbesarku saat sekolah adalah ngilangin tupperware Ibu, ngga ngabisin bekal dan bohong bilang ada eskul padahal nonton di mall.


Makanya, di zaman penuh kasus anak-anak sekolah yang makin ngga dimengerti tingkat kenakalannya, bikin aku berfikir,

Apa yang telah dilewati oleh mereka sampai akhirnya mereka ada di titik berani melakukan hal-hal yang sangat……. buruk?

Cause it never stops amazed me anyway.

Aku sebagai anak papa yang ngga punya jam malam, banyak peraturan rumah yang harus ditaati dan tidak punya kebebasan dalam memilih beberapa hal sepele atau krusial yang dulu bikin aku mikir,

“Aku kayaknya ngga mau deh mengekang anakku nanti, biarin aja mereka tumbuh sesuai apa yang mereka mau”

Dan kini kusadar, aku dibesarkan untuk tahu barrier-ku.
Larangan dan peraturan yang pernah berlaku di rumah membuatku sadar batas-batas baik dan buruk,  untuk memahami apa hal-hal yang bikin papaku kecewa atau engga dan untuk bisa memilih pilihan-pilihan tertentu saat jauh dari orang tua.

Dulu aku pengen banget tau rasanya pulang malem, ternyata pas dirasain waktu kuliah ya rasanya menyeramkan. Banyak hal-hal berisiko yang bisa berdampak buruk ketika malam, tapi karena pernah diajarin tentang barrier/batasan, aku jadi tau, “oke kayaknya ngga papa pulang malam, asal: 1. tujuannya jelas (rapat/kerja kelompok/main sama temen kemana dan sama siapa) dan 2. tidak melakukan hal-hal buruk (minum minuman keras, ngerokok, date with stranger?wkwk)”

Dulu juga aku dilarang ikut BEM, tapi karena aku tau alesannya kenapa jadi aku tetap daftar BEM dengan syarat tidak melakukan hal yang dilarang, yaitu aksi politik. Jadi aku termasuk barisan anak BEM yang tidak pernah ikut aksi politik sama sekali. Larangan kedua yaitu karena akan mengganggu waktu kuliah, nah ini salah satu barrier yang aku paham: prioritas. Jadi tetap ikut BEM tanpa mengganggu IPK atau kegiatan kuliah (walau akhirnya keteteran, tapi karena barrier tadi jadi tetap mempertanggung jawabkan apa yang telah dipilih). Alasan ketiga kenapa dilarang ikut BEM yaitu kepanitiaan yang akan memotong waktu liburan. Nah ini jadi pedoman kalau aku akan meghindari kepanitiaan yang akan sering rapat disaat liburan, seperti: panitia ospek. Ini dilema juga sih, karena dihujat banyak orang atas dasar “Manja banget sih, organisatoris tuh pantang libur” , pengen deh dulu bisikin ke mas/mba-nya,

“Maaf ya mas mba, rumah saya itu 2000 kilometer dari Malang, saya butuh kendaraan yang tidak ekonomis untuk mencapai rumah, liburan semester adalah satu-satunya kesempatan untuk melepas rindu dan jadi anak berbakti. Jadi tolong hargai pilihan ini.”

tapi hal ini akhirnya yang aku syukuri, meluangkan waktu untuk keluarga dalam prioritas utama, karena ya akhirnya aku menyadari waktuku tinggal di rumah tidak banyak.

Jadi, sebenarnya poin yang mau disampaikan apa sih?

Ya itu. My overportective dad teach me about barrier, and so do Mba Za's parents. Batasan-batasan itu jadi pedoman apa yang harus  dilakukan dan tidak dilakukan.

Some said “overprotective parents raised the best liar”, tapi dari situ kita belajar, mungkin ini salah satu cara yang baik untuk membesarkan seorang anak.

Udah banyak cerita, anak tetangga dibolehin pacaran dengan alasan “ya biarin lah pacaran, daripada sembunyi-sembunyi malah ngga baik” eh satu tahun kemudian hamil diluar nikah.

Dont give your children an excuse, or they will do something beyond the limits. 

Ini sangat general dan stereotyping, tapi poinnya adalah buat anak itu tau limit / barrier / batasan, buat mereka sadar kalau batasan itu dibuat tidak untuk dilewati, karena sekali saja diberi kesempatan untuk melewati batas maka akan ada banyak pencapaian tak hingga yang akan diraih.

Ini berlaku juga untuk hal positif, ketika orang tua tidak membatasi anaknya untuk mengejar passion-nya, maka akan ada pencapaian tak hingga juga yang akan diraih.

See? you just need to put a right barrier to your kid. HEHE

But, wait, we are all a good parent before become a parent kan? Ya gitu emang, suka jago teori belum tentu prakteknya oke punya.

Tapi…….. yang perlu disadari juga, semua orang tua melakukan hal yang terbaik untuk anaknya. Ngga pernah ada sekolah menjadi orang tua (ada sih workshop parenting wkwk) but i admit that become a parent is a lifetime learning.

Orang tua pasti juga belajar dari anak, pun anak belajar dari orang tua. Jadi, mari menjadi partner belajar yang saling membutuhkan dan koperatif.

Sebagai anak, aku belajar gimana papaku bikin aku percaya dan bikin aku selalu mengandalkan papaku. Rasa percaya itu yang akan menjadi pedoman untuk takut melakukan hal-hal mengecewakan, mempercayakan untuk cerita masalah-masalahku ke orangtua daripada ke teman, memprioritaskan keluarga dan sayang keluarga.

I wont tell you that this is the best way to raise your children, but i am grateful enough of  my parents to raise me this way. I dont know how will i raise my kid, but this will become my helicopter view about parenting.

Karena banyak kekhawatiran yang bikin aku mikir belakangan, seperti:
  1. gimana kalau anakku nanti ngga nurut?
  2. gimana kalau anakku nanti lebih percaya temannya daripada aku?
  3. gimana kalau anakku bisa melakukan banyak hal sampai dia ngga ngebutuhin aku lagi?
Dan gimana-gimana lainnya…………

Aku ngga tau ya kenapa aku mikir ini bahkan sebelum hilal jodohku datang, tapi melihat perkembangan anak jaman sekarang membuatku sadar, bahwa nantinya tantanganku sebagai orang tua di masa depan akan jauh lebih berat dalam menghadapi perubahan pola kehidupan dan fitnah akhir zaman.

Jujur ini bikin merinding. Tapi mungkin ada yang bisa menjawab kegalauan ini, sangat terbuka untuk diskusi atau komentar lainnya, karena sedang butuh banyak pengetahuan, pandangan dan pola pikir dari banyak sisi sebagai referensi.


So yea, happy breakfasting everyone!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANDUNG’S ESCAPED: Cerita dari Bumi Pasundan

Life Lately

Fast-Paced Lifestyle