Fast-Paced Lifestyle

Kata orang,

Jakarta is a powerful city,
it changes you
it breaks you
it makes you

sampai orang yang tinggal disini tidak akan jadi orang yang sama lagi.

Satu hal yang kusadari,
seberapa benci nya aku dengan Jakarta, akan tetap sulit dilepaskan.

and i loved when Jakarta reminds me how strong I am.

Semua bisa dilakuin di Jakarta. Semua ada.

Bahkan alat transportasi di Jakarta bisa jadi wahana rekreasi semua orang.

You named it,

MRT lah,
atau yang paling baru adalah grabwheels.

Oh iya, bahkan cerita di KRL Jakarta aja bisa buat aku banyak merenung.
Ditengah himpitan gerbong wanita, akan bertemu dengan ibu yang dengan ceria menyapa anaknya melalui video call, ada karyawati yang masih dikejar deadline melalui telpon, 

atau bahkan saat aku lari-lari bersama orang-orang lainnya dari jalur 5 ke jalur 1 stasiun Manggarai demi tidak tertinggal kereta jakarta kota karena ada rapat 15 menit lagi.

High pressured and fast paced environment.
Bare with it if you want to survive.

This is the life that i live for almost a year.

Living in on the fast paced society, run from one amazing (yet so demanding) moment to another amazing moment.

Konsep fast-paced society ini mengajarkan banyak hal sih, salah satunya:

menjadi sibuk itu indah.
Ada hari kerja lembur seharian di kantor demi launching produk/persiapan event, di hari lain janjian sama teman untuk berkeluh kesah atau bersenang-senang di cafe ibukota, di hari lainnya menghadiri workshop seru yang pembicaranya dulu hanya aku bisa liat lewat instagram, 

ngga selamanya indah sih, dibanyak waktu bikin nangis juga. Tapi ya itu tadi, aku ngga bisa bilang itu produktif (karena dibanyak waktu isinya mengeluh dan kerjaan yang keteteran karena menunda-nunda), tapi sibuk karena ada hal yang dilakukan adalah hal indah yang bisa kulakukan sekarang.

Definisi indah emang akan berubah kok seiring berpindahnya fase dan berkembangnya sudut pandang.
While urban environments are sometimes associated with greater levels of stress and anxiety, keeping yourself occupied on a daily basis has also been linked to greater levels of life satisfaction
Kalau hari Sabtu udah keburu janjian main sama temen, eh tiba-tiba jum'at terpaksa bawa kerjaan pulang. Alhasil agenda bermain akan membawa laptop,

work-life balanced dong.

Aku ngga tau ya, definisi work life balanced ini akan beda setiap orang atau gimana, kalo versi aku,
tidur 5 jam sehari, bisa hangout, bisa me-time, deadline masih bisa diselesaikan, bahkan masih bisa nonton drama korea,

membuat work-life balanced masih realistis menurutku.

ngorbanin tidur sehari dua hari menurutku masih wajar,
if you gain some you'll lose some.
Kalau ada temen main yang gajinya lebih gede tapi waktu tidurnya normal-normal aja,
ngga bisa iri juga sih.
Gimana kalo yang kita gain itu bukan gaji? value mungkin?
Makanya, membandingkan yang satu dengan yang lain tidak akan pernah puas, karena ada perbedaan variabel yang outputnya akan berbeda pula.

Variabel yang nentuin kita sendiri. Standarnya apa? Gaji? Lifestyle? Value? Impact to other?

FYI, my works is changing every two weeks.
Gajiku emang belum dua digit, dan pengalaman kerjaku belum setahun, tapi apa yang kujalani di VF cukup mewakili kuliah 4 tahun dari banyak jurusan. HAHAH GADENG BECANDA
So I think I'll sum up the whole year here:

1. Social Media Specialist, ini adalah kontrak pertamaku. The front-face of VF. Menghadapi banyak komplain yang awalnya ngga kupahami bagaimana menjawabnya.Jawab terlalu sopan dibilang jawaban template, jawab terlalu teknis, sulit dipahami. Apalagi kalo ditanyai soal legal, harus baca berlembar-lembar surat kontrak dan memahami setiap pasalnya untuk jawaban mengelak. Intinya, harus mengelak dengan dasar yang kuat. Ada kalanya volume CS meningkat karena terjadi masalah, dan ada moment saat aku menemui deadlock, jalan buntu. Jadi, inilah alasannya teman-teman mengapa Tiara satu bulan pertama ingin menangis saja setiap sabtu minggu.
Responding to people's complaints that weren't caused by my fault is so emotionally draining. Ku ingin marah tapi tidak tahu dengan siapa. Mereka marah dan harus kuhadapi. I am physically emotionally draining.
gemes kan kita?

2. Market research, sebenarnya aku sangat nyaman dengan task ini. Lumayan senang dalam prosesnya. Web-jumping untuk cari artikel-artikel atau bacaan sebagai sumber. Mencari benang merah dari banyak sumber. Bikin PPT. Terus presentasi deh kak Dharma

Kadang temanya soal islamic digital economy, halal branding, customer journey, customer support metrics, communication plan dan banyak hal baru lainnya. Di beberapa moment, aku cukup yakin hobiku adalah belajar. HAHAHA no salty comment please.

3. Report. Ini adalah hal yang cukup memusingkan selama perjalananku menulis. Menulis laporan kegiatan petani. Ada beberapa istilah produk atau aktivitas yang harus ku googling dulu agar paham. Mulai dari sini, aku paham, betapa gelar sarjanaku tidak bisa dibanggakan. It's a bitter honest. Apalagi kalau mitranya kurang bisa diajak kerjasama dan sulit dihubungi padahal jadwal report sudah jatuh tempo, mau ngga mau kita berusaha menerka-nerka apa yang sedang mereka kerjakan.

4. Marketing. Walau sering bikin content untuk acara atau kerjaan terdahulu, tentu marketing dibidang fintech jelas berbeda. Disini kerjaannya agak kompleks. Bikin strategi marketing, belajar OKR, bikin communication plan, bikin company brand dan hal-hal pemasaran lainnya. Untuk ada di divisi ini, bos sampai memfasilitasi workshop dan course demi menunjang kinerja.

5. Product. Awal-awal cuma jadi support waktu proses design sprint per dua minggu. Lama-lama support di ux writing, wireframing, bikin use case diagram dan UX research. Jujur, ini divisi yang paling aku suka sih. Ngegambar dan riset user experience. Secara prosesnya asik dan ngeliat hasilnya juga menyenangkan. Makanya, walau aku hadir sebagai support tanpa background product, aku rela menghabiskan malam dan weekendku untuk belajar per-UX-an.


6. Business Development. Nah ini yang paling baru. Dihari aku ditunjuk masuk tim ini, aku dikasih tugas untuk belajar financial statement. Dalam dua hari. Kalo kata kak Andre, anak FEB belajar ini 4 semester, dan aku disuruh ngerti dalam 2 hari. HAHAHA karena hopeless, aku belajar bareng sama bos dua jam dengan cara yang sangat bisa dimengerti kapasitas otakku. Selain itu, kita ngerjain lean canvas dan BMV, pain-gain canvas, pricing dan riset-riset lainnya. Kadang tugasku riset, ngasih pendapat dan mendokumentasikan. Dari semua divisi ini yang definiskan "kerjaan anak startup banget".
coretan tangan si Bos

kucinta dinding kantor

See, my work is changing every two weeks, guys. Is it enough to describe how agile i am? From my work journey, Is it enough to describe how creative i am?


Waaa, i wish making a portofolio is as easy as writing this post. HAHAHA

Melihat ini, kadang aku ngerasa udah kerja keras, tapi liat orang yang mimpinya financial freedom diatas umur 35 lebih gila-gilaan lagi kerjanya.

Beda variabel, beda konsekuensi, beda output.
Kalo dari awal udah beda ya kenapa harus dibanding-bandingin?

Live your life to the fullest.
Kalo nulis be happy jadi toxic positivity ngga sih?
Karena aku orang yang percaya kalau aku yakin sama diri aku sendiri ya semuanya akan baik-baik aja. Ngga panik. Ngga gelisah.
Tapi kalau kamu ngga percaya yaudah ngga papa, ngga maksa. Hehe.
Time you spent on work is your choice. If it takes your life away, pack up and leave. Company will always replace you anyway. Just make sure you left behind great work as your portfolio.

Selamat menikmati dua puluh tahunan teman-teman sejawatku!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANDUNG’S ESCAPED: Cerita dari Bumi Pasundan

Life Lately