Life-shifting.

Kalo di startup ada istilah pivot, yaitu perubahan yang dilakukan perusahaan perintis untuk mencari formulasi yang tepat antara produk yang ditawarkan, sasaran pengguna yang dituju, dan pertumbuhan yang ingin dicapai karena forumulasi yang sekarang sudah tidak valid,

maka sekarang hidupku juga sedang pivot.

turning from an ambitious kid who's living in face paced environment to a similar gen Z kid who's living among boomers and gen X.

I am dealing with a totally different issues. 

Kalo dulu masalah yang bikin bete adalah,

Foto | Kondisi Stasiun Manggarai Saat Rekayasa Perjalanan KRL ...

naik  KRL jakarta kota jam 7 pagi dan jam 6 sore
dikasih deadline yang kadang ngga make sense
dimarahin customer untuk masalah yang diluar kontrolku
atau jadi yang paling bego saat diskusi

sekarang berubah menjadi,

how to stay sane and under control of everything nonsense pressure that I've got.


Kadang aku suka mikir,

sekarang tuh aku udah upgrade diri ke level apa ya? apa lagi downgrade karena otaknya udah ngga pernah diisi workshop/kelas online/offline yang dulu jadi asupan harianku?

sekarang tuh aku lagi bergerak ngga sih? atau diem di tempat kayak pohon?

dan yang bikin dilema adalah,

apakah aku lagi kerja berdasarkan passionku atau cuma males berusaha lebih aja?

Heran, kenapa awal tahun selalu menjadi yang terberat dari sepanjang tahun semenjak 3 tahun ini. 

Tahun 2018, I was dreaming to be a palm oil breeder. Januari adalah awal mula dimana penelitian hampir 1000 sampel bayi-bayi sawitku dimulai. Aku mulai sadar kalo passionku adalah baca jurnal, kinda weird but yea, i am enjoying every single thing of reading journals. Dari stabiloin bagian-bagian penting dan menurutku info baru, mindahin ke notes, dan merangkai jadi satu kesatuan karya ilmiah. I was thinking that become a breeder was cool. Keliatan pinter adalah cita-citaku dari dulu wkwk. Karena sebagai perempuan yang B aja, menjadi pinter adalah ambisi duniawi yang patut diperjuangkan. #prinsip

Tahun 2019, and there i was, one of a startup team member. Working overtime and on weekend, pressuring deadlines and super high target, overlapping responsibilities, small&rapidly growing team, fast paced environment and so on. Tapi percaya ngga percaya, hasil dari banyak drama setahun, koneksi dan portofolio yang aku bangun berdampak banget sampe sekarang. I proudly said, there's nothing to regret, walau dari bulan pertama aku udah mikirin resign aja wkwk tapi sebagai generasi yang dipanggil strawberry (luarnya aja cakep menjanjikan eh ditekan dikit ancur hehe), aku cukup sadar bahwa ini kesempatan emas yang ngga boleh disia-siakan. Iya, emang di kala banyak dilema tuh cuma butuh sedikit kesadaran aja agar tetap waras dan tidak bar-bar saat memilih keputusan.

Tahun 2020, and here i am, half content creator, half entrepreneur, and a full time daughter. Pivot yang akhirnya aku pilih tahun ini adalah perubahan formulasi dari mencari ilmu sebanyak-banyaknya menjadi aktualisasi ilmu yang pernah didapat untuk meningkatkan taraf hidup (ceilee berasa judul skripsi, ya). Ternyata, awal-awal terasa menyenangkan dan mendapat banyak peluang yang ntah datang dari mana aja, tiba-tiba, bulan Maret pertengahan pandemi yang udah lamaa kudengar, tiba di Indonesia. Aku kira ngga akan berdampak besar, ternyata kerasa cuy, wkwkwk banyak proyek yang cancel dan sampai memaksa kedaiku yang baru buka dua hari ditutup. Tiba-tiba mikir, kalo sekarang aku masih jadi karyawan, pasti ngga akan sepusing sekarang karena masih jadi tanggungan kantor yang tetep dapet gaji dalam kondisi apapun. Walau mungkin akan ada aja workload yang memusingkan. Cuma balik lagi, pun beberapa karyawan banyak yang dirumahkan atau ngga dibolehin work from home, pun kalo masih di jakarta pasti stress banget terjebak di redzone sendirian jauh dari keluarga. Pandemi kali ini bisa dibilang inklusif, karena menyeluruh dampaknya ke semua piramida penduduk.

Jadi itu tadi 3 paragraf penuh sambat dan keluhan awal tahun yang selalu menjadi bagian paling berat. Kalau mau mikir abis ini bakal lebih berat kaya udah mentok gituloh ngga tau kemungkinan buruk apa lagi yang akan terjadi, ini aja udah buruk, apa bisa lebih buruk lagi?

semoga engga. hehe

So i wrote a letter to myself and all those people whose struggle,

Dear you,
You’re strong.
Mentally and physically.
I’m so proud of you for sticking around for so long.
Wherever life takes you, you always seem to get lost.
Instead of thinking inside of the box, you’re thinking outside the box.
But maybe, you’re not looking hard enough.
Maybe inside that box, there is something hidden.
Maybe your confidence.
Your passion to do the things you love.
The kindness and sweet smiles you give every day when you feel happy.
The one time you feel free.
The wind passing through your face.
Your hair.
Your arms.
And for that one moment.
Everything felt okay.
Instead of thinking psychologically about everything.
Think emotionally.
Just relax.
You’ve done so well.
Enjoy your life.
Go do the things you love.
Don’t take shortcuts.
Take it slow.
You’ll make it there.
Why?
Because I made it.
And I know you’ll make it as well.
Keep going. 


You just need to stay sane & stay connected.


Selama pandemi, aku baru sempet ikut kelas online sekali, itupun karena message dari kelasnya aku dapet banget. "Jangan karena kedai kopi lain bikin kopi literan, jadi ikutan bikin juga", ngena banget kan buat aku yang masih suka labil ikut-ikutan bikin konten. Kemarin cukup galau karena sebenernya pengen tetep buka tapi aware juga dengan kondisi saat ini, tapiii para segmentasi konsumen kita masih belum mau aware, jadi bodo amat deh sama kondisi kayak gini. Ternyata setelah ikut kelas ini, cara penyampaian dan cara masing-masing kedai kopi melewati masa sulit ini sangat bergantung sama segmentasi konsumennya. Studi kasusnya ada Gordi.id dan kopi pono yang memeliki kelas konsumen yang berbeda. Gordi.id memiliki kelas A dan B, orang-orang yang beli kopi udah ga liat harga lagi, mau semahal apapun yang dicari adalah experience-nya. Makanya lebih loyal, dan tentu pada kelas konsumen ini sangat aware dan paham terkait pandemi. Makanya campaign mereka menunjukkan untuk toleransi dan mengajak banyak orang untuk berbagi kebaikan saat masa sulit ini.

Beda dengan kopi pono, kelas C, isinya kaula muda yang stress banget menghadapi pandemi. Makanya campaign mereka lebih ke mental health dibanding membantu ke sesama.

Sama-sama kedai kopi tapi campaign-nya beda banget kan? 

dikasih nama V karena ini HP Ibu wkwk
Lanjut juga mencoba menghubungi kembali teman komplekku jaman masih kecil dan kebetulan satu SMA sampai sama-sama kuliah di Malang, Vedo. Dari dulu banget, aku tuh udah tau dia buka thrift shop gitu. Cuma uniknya, dia bisa ngebangun brand storytelling yang bagus banget, sampe orang tuh selalu ngeh kalo itu produknya dia. Style-nya tu Vedo banget. Ceritanya dia bangun @dows unik banget, awalnya hasil belanjaan nge-thrift dia, dia pake sendiri. Terus orang-orang pada liat kan dan ikutan suka, baru deh pas orang udah aware, interest sampe consider mau beli, dia jual ke orang baju yang dia pake.

dia bilang, "Mau gimanapun, baju seken tuh mau aku pake dulu baru aku jual, atau aku langsung jual ya tetep seken" nah makanya cara jualan dia tuh dengan dia pake dulu baru pas orang tertarik, dia cuci bersih, packing bagus dan siap diterima sama pembeli.

Brand storytelling yang dia bangun emang ga sebulan dua bulan, sampai akhirnya dia tau kena Dows itu melekat banget sama diri dia, yang dijual itu selera, bukan cuma barang bekas. 

Nah, kurang lengkap nih kalo belum ngobrol sama orang-orang insightful diatas, kakanda-kakanda Ex-VF. Masih tetep keren sih, walau rata-rata domisili di daerah paling terdampak COVID19 di Indonesia, mereka tetep produktif dengan banyak proyeknya. Pun ada yang sedang di masa sulit, mereka ngga pelit berbagi info tips dan trik menghadapi masa krisis ini secara tenang. Aseliii, kangen banget diwejangi kakak-kakak yang selalu insightful. Stay safe and healthy, everyone!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANDUNG’S ESCAPED: Cerita dari Bumi Pasundan

Life Lately

Fast-Paced Lifestyle